Top Label

Terbangun

 

Terbangun


Hari itu, bumi berguncang dengan dahsyat. Getarannya menembus tulang, menghantam hati, membuat segala yang kokoh runtuh dalam sekejap. Tidak ada satu pun makhluk yang bisa berpura-pura tidak mendengarnya. Gunung-gunung yang dahulu kokoh menjulang, yang sering kau lihat dalam perjalanan hidupmu, kini terangkat dari tempatnya, hancur berhamburan, beterbangan seperti kapas dihembus angin. Lautan mendidih dengan suara gemuruh yang menakutkan, seolah-olah seluruh isinya ingin keluar dari perut bumi, seperti panci raksasa di atas api yang menyala. Langit yang dulu biru tenang, teduh, kini terbelah, memperlihatkan cahaya yang tak pernah terlihat sebelumnya, cahaya yang menyilaukan, menembus hingga ke dalam dada manusia, membongkar segala rahasia yang pernah mereka sembunyikan.


Kamu terbangun. Bukan terbangun dari tidur siang yang ringan, bukan pula dari mimpi panjang yang bisa dilupakan begitu saja. Kamu terbangun dari tidur panjangmu, tidur yang disebut kematian, kamu bangkit, berdiri dengan tubuh yang berbeda dari tubuhmu di dunia. Tidak dengan rasa kantuk, tidak dengan rasa lelah seperti di dunia, melainkan dengan kesadaran yang begitu penuh. Tubuhmu ringan, seolah beban yang selama ini kau tanggung lenyap bersama bumi yang luluh lantak. Kamu menyentuh wajahmu, menggerakkan tanganmu, dan menyadari bahwa sakit yang dulu sering kau keluhkan telah hilang. Kamu meraba wajahmu, tidak keriput, tidak ada luka, tidak ada penyakit, tidak ada lagi nyeri di sendi, tidak ada rasa letih, tidak ada haus yang mencekik. Tubuhmu sempurna seolah dilahirkan kembali. Namun, ada satu rasa yang menggantikan semua itu, rasa takut bercampur harap.


Kamu berdiri di tengah lautan manusia yang juga baru saja bangkit. Wajah-wajah beraneka rupa di sekelilingmu. Ada yang berseri-seri penuh cahaya, senyum mereka memantul indah. Namun ada pula yang pucat pasi, mata mereka liar, dipenuhi ketakutan yang tidak bisa disembunyikan. Mereka menoleh ke kiri dan ke kanan, wajah mereka penuh kebingungan. Ada yang langsung tersungkur menangis, ada yang menjerit ketakutan, ada yang terdiam kaku. Kamu menunduk. Kamu tahu ini bukan mimpi. Kamu tahu, hari itu telah tiba. Hari yang sering kau dengar dalam doa-doa, dalam ayat-ayat, hari ketika tidak ada lagi yang bisa disembunyikan, hari kebangkitan.


Hati kecilmu bergetar. Bibirmu kelu, tapi air matamu mengalir tanpa kau minta. Dalam kerumunan itu, kau berbisik lirih, lebih kepada hatimu sendiri daripada siapa pun.


“Ampunilah aku.”


Bisikan itu tenggelam dalam gemuruh manusia yang digiring berbondong-bondong menuju satu arah. Ada malaikat-malaikat yang besar, berdiri gagah, wajah mereka tegas, di mata mereka tidak ada rasa kejam, hanya kebenaran yang tak bisa diganggu gugat, sayap - sayap mereka membentang, wajah mereka penuh wibawa. Mereka menuntun manusia, tempat seluruh perhitungan akan dilakukan, tidak ada yang bisa melawan, tidak ada yang bisa berpaling. Semua manusia digiring menuju satu tempat. Tanah luas tanpa batas, tanpa pepohonan, tanpa bangunan, hanya manusia sebanyak-banyaknya, berdesak-desakan, menunggu giliran untuk diadili.


Kamu ikut berjalan, langkahmu goyah, berat, bibirmu kelu, namun hatimu tak henti berdoa, air matamu mengalir pelan. Setiap detik semakin menyadarkanmu bahwa hari itu adalah hari penentuan. Tidak ada lagi pangkat, tidak ada lagi harta, tidak ada lagi alasan yang bisa dibuat-buat. Semua akan terbuka.


Sampailah kamu. Pemandangan yang kamu lihat membuat hatimu kian bergetar. Lautan manusia membentang, dari ujung ke ujung, tidak terhitung jumlahnya. Semua berdiri dengan wajah gelisah, mata penuh harap sekaligus takut. Tidak ada lagi perbedaan. Raja dan rakyat, kaya dan miskin, kuat dan lemah, semuanya berdiri sama. Mereka hanya membawa satu hal, amal.


Suasana itu menyesakkan. Panas begitu terik, matahari didekatkan. Keringat manusia bercucuran deras, masing-masing sesuai kadar amalnya. Ada yang tenggelam sampai mata kaki, ada yang sampai dada, bahkan ada yang nyaris tenggelam seluruhnya dalam peluh mereka sendiri. Kamu merasakan keringatmu mengalir, tapi anehnya tubuhmu tetap bertahan, seakan diberi kekuatan untuk menunggu saat yang pasti akan tiba.


Di tengah keramaian itu, terdengar suara-suara manusia. Kamu menoleh, mendengarkan. Ada yang merintih, “Andai saja aku lebih taat, andai aku tidak lalai…” Ada yang menjerit, “Kembalikan aku ke dunia, hanya sehari saja, aku ingin memperbaiki diriku…” Ada pula yang wajahnya tenang, meski tubuhnya bergetar, mereka berbisik doa.


Kamu menyaksikan wajah-wajah penuh penyesalan. Seorang lelaki di dekatmu menangis keras, menepuk-nepuk wajahnya. “Habis sudah aku! Semua yang dulu aku banggakan kini tak ada artinya! Harta yang aku kumpulkan, rumah yang kubangun, semuanya ditinggalkan. Kini aku berdiri dengan tangan kosong!”


Seorang wanita di sampingnya menggenggam wajahnya sendiri, matanya kosong. “Anakku… di mana anakku? Di dunia aku sibuk dengannya, tapi apakah aku membawanya ke kebaikan? Atau justru aku melalaikannya?” Air matanya jatuh tanpa henti.


Kamu menunduk. Kata-kata mereka menusuk hatimu. Kamu sendiri pun teringat masa lalumu. Malam-malam yang kau lewati dengan kelalaian, waktu-waktu yang kau habiskan tanpa makna. Namun kamu juga teringat senyuman yang pernah kau berikan, doa yang kau panjatkan dalam sunyi, air mata yang pernah jatuh dalam doa. Semua berputar di benakmu, seperti lembaran buku yang dibuka satu per satu.


Tiba-tiba terdengar seruan


Satu demi satu manusia dipanggil. Mereka maju dengan wajah pucat, tubuh gemetar. Malaikat membawa kitab catatan amal mereka, dan semuanya diperlihatkan. Ada yang wajahnya berseri ketika amal baiknya lebih berat, ada pula yang berteriak putus asa ketika amal buruknya menenggelamkan. Kamu menyaksikan sendiri, dan hatimu makin bergetar.


Sampai akhirnya… namamu disebut.


Namamu dipanggil.


Suara itu lembut, namun menggetarkan jantungmu seakan-akan seluruh tubuhmu diguncang, tubuhmu gemetar. Kamu menoleh. Malaikat berdiri memanggilmu dengan pandangan tajam namun penuh keadilan. Dengan tubuh bergetar, kamu maju. Setiap langkah seperti menghentakkan rasa takut yang tak tertahan. Kamu tahu, tidak ada jalan lain. Kamu melangkah maju, langkah demi langkah, seolah kakimu begitu berat. Mata manusia lain menoleh, melihatmu. Tapi kamu tidak peduli. Dunia mereka bukan urusanmu, yang ada hanya keputusan akhir terhadapmu.


Malaikat membawakan kitab catatan amalmu. Buku itu bercahaya, namun isinya membuat dadamu sesak, bergetar. Lembar demi lembar terbuka. Kamu melihat ibadahmu, yang kau tunaikan meski kadang terburu-buru, doa-doa yang kau ucapkan dengan air mata, sedekah kecil yang kau berikan di jalanan, senyumanmu pada anak yatim yang dulu hanya kamu lakukan tanpa banyak pikir, air minum yang kau berikan pada orang kehausan di hari panas, ucapan lembut pada seorang yang bersedih, doa lirih mu ditengah malam yang sunyi. Semua yang pernah kau lakukan, besar maupun kecil, semua ada disana, tidak ada yang terlewat.


Kamu menangis. “Aku bahkan lupa semua itu, tapi Engkau tidak pernah lupa…”


Air matamu semakin deras ketika melihat bahwa hal-hal kecil yang dulu kamu anggap remeh ternyata ditulis dengan teliti, bercahaya, bernilai besar. Namun bersamaan dengan itu, hatimu menciut saat dosa-dosamu ditampakkan. Amarah yang kau lontarkan, kata-kata kasar yang pernah keluar, kelalaian yang sering terjadi, malam-malam ketika kamu lupa bersyukur, siang-siang ketika kamu lalai menahan diri, kesempatan berbuat baik yang kau abaikan. Semua tampak begitu jelas, tanpa tirai, tanpa alasan untuk menyangkal, kamu menunduk, hatimu menciut. "Aku binasa..." Hatimu berbisik dengan cemas “Apakah aku selamat?”. Dalam hati, kamu hanya mampu bertanya. “Apakah aku selamat? Ataukah aku celaka?”.


Kamu menunduk, tubuhmu bergetar. Namun tiba-tiba terdengar suara lain, lembut, teduh, namun tegas menembus ke dalam jiwamu.


“Masuklah engkau ke dalam rahmat-Ku. Inilah kemenangan yang nyata.”


Kamu terperanjat. Suara itu bukan sembarang suara. Itu adalah keputusan yang kamu nantikan, kabar yang membuat seluruh ketakutanmu pecah menjadi air mata syukur. Kamu tersungkur sujud, dadamu bergetar, hatimu diliputi rasa lega yang tak bisa kau lukiskan dengan kata-kata.


Malaikat mendekat, memegang tanganmu, dan membimbingmu, melewati jembatan, menuju sebuah pintu yang amat besar. Pintu itu menjulang tinggi, terbuat seakan dari emas, mutiara, dan cahaya yang bercampur menjadi kilauan tiada tara. Tidak ada satu pun benda di dunia yang bisa dibandingkan dengannya. Tidak ada di dunia yang bisa menyamai keindahannya.


Ketika pintu itu terbuka, aroma harum menguar, menyejukkan jiwa. Udara yang keluar dari dalamnya begitu lembut, seakan menyapu habis segala resah di dadamu. Kamu melangkah masuk, dan pandanganmu langsung tertuju pada hamparan kebun hijau yang luas tak bertepi, sungai-sungai jernih mengalir dengan suara gemericik yang menenangkan.


Airnya lebih putih daripada susu, lebih manis daripada madu, lebih segar daripada embun pagi yang pernah kau hirup di dunia. Pepohonan menjulang tinggi, daunnya rindang, buah-buahnya ranum, indah, dan setiap kali kamu menginginkan, buah itu seakan tahu, ia mendekat ke tanganmu.


“Selamat datang,” ucap malaikat di sampingmu, suaranya lembut. “Inilah tempatmu tinggal selamanya.”


Kamu berjalan menyusuri jalanan yang terbuat dari permata, berkilauan seakan bintang-bintang ditaburkan di bawah kakimu. Di kejauhan, matamu menangkap sebuah istana bercahaya. Dindingnya dari emas murni, atapnya dari mutiara, pintunya dari batu-batu permata yang memancarkan warna tak pernah kau lihat di dunia.


Ketika memasuki istana itu, kamu disambut oleh wajah-wajah bercahaya. Mereka adalah bidadari, wajahnya penuh kelembutan, senyumnya menenangkan hati. “Ini rumahmu,” kata mereka dengan suara yang menyejukkan. “Di sinilah engkau tidak akan pernah merasa takut dan tidak akan pernah bersedih lagi.”


Kamu melangkah masuk, matamu terpesona oleh ruangan yang luas. Perabotannya indah, tidak pernah terlihat oleh mata manusia sebelumnya. Tirai-tirai sutra berwarna-warni bergelantungan, pelayan-pelayan muda yang tampan dan cantik menawarkan minuman dari piala emas, rasanya tak bisa kau bandingkan dengan apa pun di dunia.


Kamu berjalan lebih jauh, dan tiba-tiba terdengar suara-suara riang penuh tawa. Kamu menoleh, lalu matamu langsung berkaca-kaca. Di hadapanmu, berdiri orang-orang yang kau rindukan, ayahmu, ibumu, yang dulu kau rawat dengan penuh sabar di masa tua mereka, istrimu, yang menemanimu dengan kesetiaan di dunia, anak-anakmu, yang dulu kecil dan rapuh, kini tumbuh indah dalam cahaya.


Mereka berlari kepadamu, memelukmu erat. Tangis kebahagiaan pecah, menggema dalam ruangan itu. Tidak ada lagi perpisahan, tidak ada lagi kematian. Kamu memeluk mereka, tubuhmu bergetar karena rasa haru yang tak tertahankan.


“Akhirnya kita berkumpul kembali,” ucapmu lirih, air mata mengalir deras di pipimu.


Hari-hari berjalan tanpa hitungan waktu. Tidak ada matahari terik yang menyengat, tidak ada malam gelap yang menakutkan. Yang ada hanyalah cahaya lembut yang menenangkan jiwa. Kamu duduk bersama keluargamu di tepi sungai susu yang mengalir tenang, menikmati buah delima, anggur, dan kurma yang manis. Suasana dipenuhi tawa dan cinta. Tidak ada iri hati, tidak ada dendam, tidak ada duka.


Sesekali kamu berjalan-jalan di taman. Burung-burung bernyanyi dengan suara merdu, angin sepoi-sepoi membawa aroma kasturi yang harum. Hatimu terasa damai seperti tidak pernah kamu rasakan sebelumnya.


Suatu hari, terdengar kabar bahwa seluruh penghuni akan berkumpul. Kamu segera bergegas menuju tempat itu. Di sana, wajah-wajah bercahaya berkumpul, dan di antara mereka, kamu melihat sosok yang paling kamu rindukan, Rasulullah Muhammad.


Air matamu seketika pecah. Rindu yang selama ini terpendam meluap tanpa terbendung. Kamu mendekat, tubuhmu bergetar, suaramu parau.


“Ya Rasulullah…”


Beliau menoleh. Senyumnya lembut, penuh kasih sayang. Beliau mengangguk, seakan berkata, “Engkau selamat. Engkau bersama kami.”


Kamu menangis tersedu. Tidak ada kebahagiaan yang lebih besar selain dapat bertemu dengan beliau, sang kekasih-Nya, yang selama hidupmu selalu kamu kirimkan rasa rindu, yang kisahnya selalu kamu baca dengan air mata haru.


Namun, kenikmatan tidak berhenti pada istana, pada makanan, pada pertemuan dengan keluarga, atau bahkan pada kebahagiaan bersama Rasulullah. Puncak segala kebahagiaan adalah ketika Allah sendiri memberikan karunia yang paling agung, melihat wajah-Nya.


Pada hari itu, seluruh penghuni berkumpul. Cahaya terang benderang, jauh lebih indah daripada matahari, meliputi seluruhnya. Hati setiap penghuni bergetar dengan cinta yang tak terlukiskan.


Lalu terdengar suara-Nya, lembut namun penuh kuasa.


“Apakah kalian ridha dengan apa yang Aku berikan?”


Serentak mereka menjawab, dengan hati yang meledak oleh cinta.


“Bagaimana kami tidak ridha. Engkau telah memberikan segala yang kami impikan.”


Suara-Nya berfirman.


“Hari ini Aku tambahkan bagi kalian nikmat yang paling agung, melihat wajah-Ku.”


Tirai pun tersingkap. Wajah-Nya ditampakkan. Semua mata menatap, semua hati luluh, semua cinta meleleh. Air mata mengalir deras, bukan air mata duka, melainkan air mata kebahagiaan yang tak terbandingkan. Tidak ada kata, tidak ada pikiran, hanya cinta yang memenuhi seluruh jiwa.


Sejak hari itu, kamu hidup dalam kebahagiaan abadi. Tidak ada lagi rasa takut, tidak ada lagi rasa sedih. Hanya cinta, damai, cahaya dan rahmat.


Kamu tahu, semua usahamu di dunia, air mata dalam doa, sabar dalam ujian, amal kecil yang kau anggap remeh, ternyata tidak sia-sia. Semuanya mengantarmu pada rumah abadi. Tempat segala rindu berakhir. Tempat cinta menemukan makna sejatinya.

#Artikel#Blog
01 September 2025 Last Updated 2025-09-01T15:15:09Z
Komentar

Tampilkan